Etimologi = jalan / tradisi,
kebiasaan, adat istiadat, dapat juga berarti undang-undang yang berlaku.
Terminologi = berita /
kabar, segala perbuatan, perkataan dan takrir ( keizinan / pernyataan ) Nabi
Muhammad saw.
KEDUDUKAN AS-SUNNAH / HADITS
As-Sunnah adalah sumber hukum Islam
yang kedua sesudah Al-Qur’an.
Apabila as-Sunnah / Hadits tidak
berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslimin akan mengalami
kesulitan-kesulitan seperti :
1. Melaksanakan Shalat, Ibadah Haji,
mengeluarkan Zakat dan lain sebagainya, karena ayat al-Qur’an dalam hal
tersebut hanya berbicara secara global dan umum, sedangkan yang menjelaskan
secara rinci adalah as-Sunnah / Hadits.
2. Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an,
untuk menghindari penafsiran yang subyektif dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
3. Mengikuti pola hidup Nabi, karena
dijelaskan secara rinci dalam Sunnahnya, sedangkan mengikuti pola hidup Nabi
adalah perintah al-Qur’an.
4. Menghadapi masalah kehidupan yang
bersifat teknis, karena adanya peraturan-peraturan yang diterangkan oleh
as-Sunnah / Hadits yang tidak ada dalam al-Qur’an seperti kebolehan memakan
bangkai ikan dan belalang, sedangkan dalam al-Qur’an menyatakan bahwa bangkai
itu haram.
HUBUNGAN AS-SUNNAH DENGAN AL-QUR’AN
1. Sebagai Bayan ( menerangkan
ayat-ayat yang sangat umum).
2. Sebagai Taqrir ( memperkokoh dan
memperkuat pernyataan al-Qur’an ).
3. Sebagai Bayan Tawdih (
menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ).
PERBEDAAN AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH /
HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM
Sekalipun al-Qur’an dan as-Sunnah
sama-sama sebagai sumber hukum Islam, namun diantara keduanya terdapat
perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil, antara lain sebagai berikut :
1. – Al-Qur’an bersifat Qath’i (
mutlak ) kebenarannya.
- As-Sunnah bersifat Dzhanni (
relatif ), kecuali Hadits Mutawatir.
2. – Seluruh ayat al-Qur’an mesti
dijadikan sebagai pedoman hidup.
- Tidak seluruh Hadits dapat
dijadikan pedoman hidup karena disamping ada Hadits Shahih, ada pula Hadits
yang Dhaif .
3. – Al-Qur’an sudah pasti autentik
lafadz dan maknanya.
- As-Sunnah belum tentu autentik
lafadz dan maknanya.
4. – Apabila al-Qur’an berbicara
tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib, maka setiap muslim
wajib mengimaninya.
- Apabila as-Sunnah berbicara
tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib, maka setiap muslim
tidak diharuskan mengimaninya seperti halnya mengimani al-Qur’an.
5. Berdasarkan perbedaan tersebut,
maka :
- Penerimaan seorang muslim terhadap
al-Qur’an hendaknya didasarkan pada keyakinan yang kuat, sedangkan;
- Penerimaan seorang muslim terhadap
as-Sunnah harus didasarkan atas keragu-raguan ( dugaan-dugaan ) yang kuat. Hal
ini bukan berarti ragu kepada Nabi, tetapi ragu apakah Hadits itu benar-benar
berasal dari Nabi atau tidak karena adanya proses sejarah kodifikasi hadits
yang tidak cukup memberikan jaminan keyakinan sebagaimana jaminan keyakinan
terhadap al-Qur’an.
Setiap hadits mengandung tiga Unsur, yaitu:
- matan (teks atau perkataan yang disampaikan);
- rawi (disebut juga perawi) adalah orang yang menyampaikan atau yang meriwayatkan hadits yang pernah diterimanya dari seseorang ke dalam suatu kitab;
- sanad, adalah orang-orang yang menjadi sandaran dalam meriwayatkan hadits. Dengan kala lain, sanad adalah orang-orang yang menjadi perantara dari Nabi Muhammad Rosulullah saw. kepada perawi.
Ditinjau dari segi rawi (perawi atau orang yang
meriwayatkan),,
Hadits dibagi dalam dua bentuk besar. Bentuk pertama
terbagi atas hadits mutawatir dan hadits ahad. Bentuk kedua terbagi atas
mutawatir, ahad, dan masyhur. Konon bentuk pertama yang lebih praktis. Mengapa?
Karena hadits masyhur itu sudah tercakup dalam hadits ahad yang terbagi atas
masyhur, ’aziz, dan ghorib.
Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang dalam
setiap sanadnya dan mustahil para perawinya itu sepakat berdusta. Sebab hadits
itu diriwayatkan oleh banyak orang dan disampaikan kepada banyak orang. Oleh
karena itu diyakini kebenarannya.
Dalam hal keotentikannya, hadits
mutawatir sama dengan al-Qur’an, karena keduanya merupakan sesuatu yang pasti
adanya (qoth’i al-wurud). Itulah sebabnya para ’ulama sepakat bahwa hadits
mutawatir wajib diamalkan. Berikut salah satu contoh hadits mutawatir itu:
Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Barang siapa berdusta atas namaku
dengan sengaja, maka tempat (kembali)nya dalam neraka." (HR. Bukhori,
Muslim, Darimi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, Thobroni, dan Hakim)
Hadits mutawatir terbagi dua:
- mutawatir lafzi, yakni perkataan Nabi Muhammad saw., dan
- mutawatir ’’amali, yakni perbuatan nabi Muhammad saw.
Hadits Ahad, yaitu hadits yang tidak
mencapai derajat mutawatir. Mengenai hadits ahad ini, para imarn mazhab berbeda
pendapat. Menurut Imam Hanafi (Abu Hanifah), jika rawinya orang-orang yang adil
maka hanya dapat dijadikan hujjah pada bidang amaliyah. Bukan pada bidang
aqidah dan ilmiah. Imam Malik berpendapat hadits ini dapat dipakai menetapkan
hukum- hukum yang tidak dijumpai dalam al-Qur’an dan harus didahulukan dari
qiyas zhonni (tidak pasti)
Imam Syafi’i menegaskan, hadits ini
dapat dijadikan hujjah jika rawinya memenuhi empat syarat, yaitu:
- berakal;
- dhobit (yakni memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna c-s serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendaki); dan
- mendengar langsung dari Nabi Muhammad saw. dan tidak menyalahi pendapat ’ulama hadits.
Hadits Masyhur yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga rawi atau lebih
dengan sanad yang berbeda. Contohnya, Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Orang
Islam adalah orang yang tidak mengganggu orang Islam lainnya baik dengan lidah
maupun dengan tangannya." (HR. Bukhori, Muslim, Tirmidzi)
Sanad Bukhori, yaitu Bukhori
(menerima) dari Adam, dari Syu’bah, dari Abdullah bin Abu Safar, dari
Asy-Sya’bi, dari Abdullah bin Amir, dari Nabi Muhammad saw.
Sanad Muslim, yaitu Muslim
(mendengar) dari Sa’id, dari Yahya, dari Abu Burdah, dari Abu Musa, dari Nabi
Muhammad saw.
Sanad Tirmidzi, yaitu Tirmidzi
(mendengar) dari Qutaidah, dari al-Lais, dari al-Qo’qo, dari Abu Salih, dari
Abu Huroiroh, dari Nabi Muhammad saw.
Hadits Aziz
adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi, walaupun setelah itu
diriwayatkan oleh sejumlah rawi.
Hadits
Ghorib adalah hadits yang dalam sanadnya
hanya ada satu orang rawi, dimanapun sanad itu terjadi.
Hadits Qudsi Dan Hadits Nabawi
Ditinjau dari segi sumbernya, hadits dibagi menjadi dua macam, yaitu hadits qudsi (disebut juga hadits Robbani) dan hadits Nabawi (hadits nabi). Perbedaan kedua macam hadits tersebut yaitu:
Hadits Qudsi adalah firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Rosulullah saw. kemudian beliau menyampaikannya dengan redaksi (susunan kata/kalimat)nya sendiri. Dengan demikian makna hadits qudsi tersebut berasal dari Allah SWT, sedangkan lafal/redaksinya dari Nabi saw.
Hadits Nabawi adalah hadits yang makna maupun lafalnya berasal dari Nabi Muhammad Rosulullah saw. sendiri. Jika demikian, apa perbedaan antara hadits qudsi dengan Al- Qur’an? Ada beberapa perbedaan yang tegas, yakni:
Ditinjau dari segi sumbernya, hadits dibagi menjadi dua macam, yaitu hadits qudsi (disebut juga hadits Robbani) dan hadits Nabawi (hadits nabi). Perbedaan kedua macam hadits tersebut yaitu:
Hadits Qudsi adalah firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Rosulullah saw. kemudian beliau menyampaikannya dengan redaksi (susunan kata/kalimat)nya sendiri. Dengan demikian makna hadits qudsi tersebut berasal dari Allah SWT, sedangkan lafal/redaksinya dari Nabi saw.
Hadits Nabawi adalah hadits yang makna maupun lafalnya berasal dari Nabi Muhammad Rosulullah saw. sendiri. Jika demikian, apa perbedaan antara hadits qudsi dengan Al- Qur’an? Ada beberapa perbedaan yang tegas, yakni:
- lafal dan makna Al-Qur’an berasal dari Allah SWT, sebaliknya hadits qudsi hanya maknanya saja yang berasal dari Allah SWT, sedangkan redaksinya (susunan kalimatnya) dari Nabi Muhammad Rosulullah saw.;
- periwayatan Al-Qur’an tidak boleh dengan maknanya saja, sebaliknya hadits qudsi boleh diriwayatkan hanya dengan maknanya;
- Al-Qur’an, terutama surat Al-Fatiha harus dibaca dalam sholat, sebaliknya hadits qudsi tidak boleh dibaca sewaktu sholat;
- membaca Al-Qur’an terhitung ibadah, sebaliknya membaca hadits qudsi tidak terhitung ibadah.
Ditinjau dari segi nilai sanad, hadits dikelompokkan dalam tiga macam, shohih, hasan, dan dhoif.
1.
Hadits Shohih, yaitu hadits yang cukup sanadnya dari awal sampai
akhir dan oleh orang-orang yang sempurna hafalannya. Syarat hadits shohih adalah:
a.
Sanadnya bersambung;
b. Perawinya adil, memiliki sifat istiqomah,
berakhlak baik, tidak fasik, terjaga
kehormatan dirinya (muruah);
c.
Dhobit, yakni memiliki ingatan dan
hafalan yang sempurna serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendaki; dan
d. Hadits yang diriwayatkannya tidak bertentangan
dengan hadits mutawatir atau dengan ayat al-Qur`an.
Hadits shohih dibagi dua:
a.
Shohih Lizatihi, yakni hadits yang shohih dengan sendirinya tanpa diperkuat
dengan keterangan lainnya. Contohnya adalah sabda Nabi Muhammad saw., ``Tangan
di atas (yang memberi) lebih baik dari tangan di baivah (yang menerima). ``
(HR. Bukhori dan Muslim)
b. Shohih Lighoirihi, yakni hadits yang keshohihannya diperkuat
dengan keterangan lainnya. Contohnya sabda Nabi Muhammad saw., ``Kalau sekiranya tidak terlalu menyusahkan umatku untuk
mengerjakannya, maka aku perintahkan bersiwak (gosok gigi) setiap akan
sholat.`` (HR. Hasan)
Dilihat dari sanadnya, semata-mata hadits Hasan Lizatihi, namun
karena dikuatkan dengan riwayat Bukhori, maka jadilah ia shohih lighoirihi.
2.
Hadits Hasan, adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh
perawi yang adil, namun tidak sempurna hafalannya. Hadits hasan dibagi dua:
a. Hasan Lizatihi, yakni hadits yang
dengan sendirinya dikatakan hasan. Hadits ini ada yang sampai ke tingkat
lighoirihi;
dan
b.
Hasan Lighoirihi, yakni hadits yang derajat hasannya dibantu dengan
keterangan lainnya. Contohnya sabda Nabi
Muhammad saw., ``Sembelihan bagi bayi hezvan yang berada
dalam perut ibunya, cukuplah dengan sembelihan ibunya saja.`` (HR. Tirmidzi,
Hakim, dan Darimi)
Hadits
di atas jika kita ambil sanad dari Imam Darimi, adalah Darimi menerima dari 1)
Ishak bin Ibrohim, dari 2) Itab bin Bashir, dari 3) Ubaidillah bin Abu Ziyad,
dari 4) Abu Zubair, dari 5) Jabir, dari Nabi Muhammad saw. Nama yang tercela
dalam sanad di atas adalah nomor 3 (Ubaidillah bin Abu Ziyad). Sebab menurut
Abu Yatim ia bukanlah seorang yang kuat hafalannya dan tidak teguh
pendiriannya.:
3. Hadits Dhoif (lemah) adalah hadits
yang tidak memenuhi syarat shohih dan hasan. Contohnya, ``Barangsiapa berkata
kepada orang miskin: `bergembiralah`, maka luajib baginya surga``. (HR. Ibnu
A`di) Di antara perawi hadits tersebut ialah Abdul Mali bin Harun. Menurut Imam
Yahya, ia seorang pendusta. Sedangkan Ibnu Hiban memvonisnya sebagai pemalsu
hadits.
Dari
segi keterputusan sanad, hadits dhoif terbagi menjadi lima macam:
a. hadits mursal, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tabi`in
dengan menyebutkan ia menerimanya langsung dari Nabi Muhammad saw., padahal
tabi`in (generasi setelah sahabat) tidaklah mungkin bertemu dengan nabi.
b. Hadits munqothi` yaitu hadits yang salah seorang rawinya
gugur (tidak disebutkan namanya) tidak saja pada sahabat, namun bisa terjadi
pada rawi yang di tengah atau di akhir;
c. Hadits
al-mu`adhdhol, yaitu hadits yang dua orang atau lebih dari perawinya setelah
sahabat secara berurutan tidak disebutkan dalam rangkaian sanad;
d. Hadits
mudallas, yaitu hadits yang rawinya meriwayatkan hadits tersebut dari orang
yang sezaman dengannya, tetapi tidak menerimanya secara langsung dari yang
bersangkutan;
e. Hadits mu`allal, yaitu hadits yang kelihatannya selamat,
tetapi sesungguhnya memiliki cacat yang tersembunyi, baik pada sanad maupun
pada matannya.
Ditinjau dari segi lain-lainnya, hadits dhoif terbagi
dalam enam macam:
1. hadits mudhthorib, yaitu hadits yang kemampuan ingatan dan
pemahaman periwayatnya kurang;
2. hadits maqluub, yaitu hadits yang terjadi pembalikan di
dalamnya, baik pada sanad, nama periwayat, maupun matannya;
3. hadits mudho`af, yaitu hadits yang lemah matan dan sanadnya
sehingga diperselisihkan oleh para `ulama. Contohnya, ``asal segala penyakit
adalah dingin.`` (HR. Anas dengan sanad yang lemah)
4. hadits syaaz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang
rawi yang shiqoh,namun menyalahi riwayat orang banyak yang
shiqoh juga;
5. hadits mungkar, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang
yang lemah dan riwayatnya berbeda dengan riwayat yang
shiqoh;
5.
hadits matruuk, yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh seseorang yang dituduh suka berdusta, nyata
kefasikannya, ragu dalam periwayatan, atau pelupa.
bukti bahwa hadits menguraikan
segala sesuatu yang disampaikan oleh Al-Qur`an secara global, samar, dan
singkat.
1. Tentang sholat
Allah SWT berfirman, "Sungguh, sholat itu adalah kewajiban
yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman". (QS. 4/An-Nisa`: 103) "Bacalah Kitab (Al-Quran) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar." (QS. 29/Al-Ankabut: 45)
Dalam ayat tersebut Allah SWT sama sekali tidak memberikan petunjuk tentang jumlah bilangan rokaat sholat dan tata cara melaksanakannya. Untuk itu Nabi saw. menerangkannya dengan perbuatan (praktek) maupun perkataan. Muhammad Rosulullah saw. bersabda, " Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat. " (HR. Bukhori)
2. Perihal zakat
Allah SWT berfirman, "Laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang yang rukuk (maksudnya sholat berjamaah).`` (QS. 2/Al-Baqoroh: 43) "Laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rosul (Muhammad), supaya kamu diberi rahmat." (QS. 24/An-Nur: 56)
Kedua ayat di atas jelas tidak menerangkan barang apa saja yang harus dikeluarkan zakatnya. Juga tidak menegaskan berapa jumlah batas minimal barang yang dikenakan zakat, persentase zakatnya, dan kapan waktu pembayarannya. Untuk itu Nabi Muhammad Rosulullah saw. bersabda, antara lain: "Apabila engkau mempunyai perak 200 dirham dan telah cukup satu tahun, maka zakatnya lima dirham. Jika engkau mempunyai emas 20 dinar dan telah engkau miliki selama satu tahun, maka wajib zakatnya 0,5 dinar." (HR. Abu Dawud). Muhammad Rosulullah saw. juga menegaskan, "Tidaklah wajib zakat pada harta seseorang yang belum genap satu tahun dimilikinya." (HR. Daruquthni)
3. Mengenai haji
Allah SWT berfirman, "Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah, adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam." (QS. 3/Ali Imron: 97) Pengertian mampu dalam ayat ini adalah sehat, mempunyai perbekalan yang cukup untuk pergi dan untuk keluarga yang ditinggalkan serta tersedia transportasi dan perjalannya juga aman.
Allah SWT juga berfirman, "Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yangjauh." (QS. 22/Al-Hajj: 27) Kalimat "unta yang kurus" dalam ayat ini menggambarkan jauh dan beratnva perjalanan yang ditempuh oleh jama`ah haji.
Kedua ayat di atas’itu pun tidak memerinci bagaimana cara melaksanakan ibadah haji dan kapan waktu pelaksanaannya. Karena itu Nabi Muhammad Rosulullah saw. memberikan contoh, dan bersabda, "Ambillah dariku tentang cara mengerjakan haji. Mungkin aku tidak akan bertemu kamu setelah tahunku mi. "(HR. Muslim)
4. Soal hukum potong tangan dalam mencuri
Allah SWT berfirman, "Adapun orang pria maupun vanita yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atus perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Mahabijaksana," (QS. 5/Al-Maidah: 38) Ayat ini tidak menerangkan pengertian mencuri. Juga tidak menjelaskan berapa batas minimal barang yang dicuri sehingga harus dihukum potong tangan, dan tangan sebelah mana yang harus dipotong. Oleh karena itu Muhammad Rosulullah saw. menjelaskan, "Janganlah engkau memotong tangan pencuri, kecuali (karena mencuri barang) seharga seperempat dinar ke atas". (HR. Muslim, Nasa`i, dan Ibnu Majah)
Mengingat hadits adalah sumber ajaran Islam kedua, maka hukum mempelajari hadits adalah wajib. Berikut ini penulis paparkan pendapat beberapa ulama tentang kewajiban mempelajari hadits dan mengamalkannya.
1. Tentang sholat
Allah SWT berfirman, "Sungguh, sholat itu adalah kewajiban
yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman". (QS. 4/An-Nisa`: 103) "Bacalah Kitab (Al-Quran) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar." (QS. 29/Al-Ankabut: 45)
Dalam ayat tersebut Allah SWT sama sekali tidak memberikan petunjuk tentang jumlah bilangan rokaat sholat dan tata cara melaksanakannya. Untuk itu Nabi saw. menerangkannya dengan perbuatan (praktek) maupun perkataan. Muhammad Rosulullah saw. bersabda, " Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat. " (HR. Bukhori)
2. Perihal zakat
Allah SWT berfirman, "Laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang yang rukuk (maksudnya sholat berjamaah).`` (QS. 2/Al-Baqoroh: 43) "Laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rosul (Muhammad), supaya kamu diberi rahmat." (QS. 24/An-Nur: 56)
Kedua ayat di atas jelas tidak menerangkan barang apa saja yang harus dikeluarkan zakatnya. Juga tidak menegaskan berapa jumlah batas minimal barang yang dikenakan zakat, persentase zakatnya, dan kapan waktu pembayarannya. Untuk itu Nabi Muhammad Rosulullah saw. bersabda, antara lain: "Apabila engkau mempunyai perak 200 dirham dan telah cukup satu tahun, maka zakatnya lima dirham. Jika engkau mempunyai emas 20 dinar dan telah engkau miliki selama satu tahun, maka wajib zakatnya 0,5 dinar." (HR. Abu Dawud). Muhammad Rosulullah saw. juga menegaskan, "Tidaklah wajib zakat pada harta seseorang yang belum genap satu tahun dimilikinya." (HR. Daruquthni)
3. Mengenai haji
Allah SWT berfirman, "Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah, adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam." (QS. 3/Ali Imron: 97) Pengertian mampu dalam ayat ini adalah sehat, mempunyai perbekalan yang cukup untuk pergi dan untuk keluarga yang ditinggalkan serta tersedia transportasi dan perjalannya juga aman.
Allah SWT juga berfirman, "Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yangjauh." (QS. 22/Al-Hajj: 27) Kalimat "unta yang kurus" dalam ayat ini menggambarkan jauh dan beratnva perjalanan yang ditempuh oleh jama`ah haji.
Kedua ayat di atas’itu pun tidak memerinci bagaimana cara melaksanakan ibadah haji dan kapan waktu pelaksanaannya. Karena itu Nabi Muhammad Rosulullah saw. memberikan contoh, dan bersabda, "Ambillah dariku tentang cara mengerjakan haji. Mungkin aku tidak akan bertemu kamu setelah tahunku mi. "(HR. Muslim)
4. Soal hukum potong tangan dalam mencuri
Allah SWT berfirman, "Adapun orang pria maupun vanita yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atus perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Mahabijaksana," (QS. 5/Al-Maidah: 38) Ayat ini tidak menerangkan pengertian mencuri. Juga tidak menjelaskan berapa batas minimal barang yang dicuri sehingga harus dihukum potong tangan, dan tangan sebelah mana yang harus dipotong. Oleh karena itu Muhammad Rosulullah saw. menjelaskan, "Janganlah engkau memotong tangan pencuri, kecuali (karena mencuri barang) seharga seperempat dinar ke atas". (HR. Muslim, Nasa`i, dan Ibnu Majah)
Mengingat hadits adalah sumber ajaran Islam kedua, maka hukum mempelajari hadits adalah wajib. Berikut ini penulis paparkan pendapat beberapa ulama tentang kewajiban mempelajari hadits dan mengamalkannya.
- Al-Hakim menegaskan, "Seandainya tidak banyak c rang yang menghafal sanad hadits, niscaya menara Islam rcboh. Juga niscaya para ahli bid`ah berupaya membuat hadits maudhu dan memutar-balikkan sanad."
- Imam Sufyan Sauri menyatakan, "Saya tidak mengenal ilmu yang utama bagi orang yang berhasrat menundukkan wajahnya di hadapan Allah, selain ilmu hadits. Orang-orang sangat memerlukan ilmu ini sampai pada masalah-masalah kecil tentang tata cara makan dan minum. Mempelajari hadits lebih utama dibandingkan dengan sholat (sunnah) dan puasa (sunnah), karena mempelajari ilmu ini adalah fardhu kifayah.
- Imam Syafi`i menuturkan, "Ilmu hadits ini termasuk tiang agama yang paling kokoh dan keyakinan yang paling teguh. Tidak gemar menyiarkannya, kecuali orang-orang yang jujur dan takwa. Dan tidak dibenci memberitakannya selain oleh orang-orang munafik lagi celaka.