Monday, 21 October 2013

HADIST




PENGERTIAN AS-SUNNAH / HADITS
Etimologi  =  jalan / tradisi, kebiasaan, adat istiadat, dapat juga berarti undang-undang yang berlaku.
Terminologi  =  berita / kabar, segala perbuatan, perkataan dan takrir ( keizinan / pernyataan ) Nabi Muhammad saw.
KEDUDUKAN AS-SUNNAH / HADITS
As-Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah Al-Qur’an.
Apabila as-Sunnah / Hadits tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslimin akan mengalami kesulitan-kesulitan seperti :
1. Melaksanakan Shalat, Ibadah Haji, mengeluarkan Zakat dan lain sebagainya, karena ayat al-Qur’an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan umum, sedangkan yang menjelaskan secara rinci adalah as-Sunnah / Hadits.
2. Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, untuk menghindari penafsiran yang subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
3. Mengikuti pola hidup Nabi, karena dijelaskan secara rinci dalam Sunnahnya, sedangkan mengikuti pola hidup Nabi adalah perintah al-Qur’an.
4. Menghadapi masalah kehidupan yang bersifat teknis, karena adanya peraturan-peraturan yang diterangkan oleh as-Sunnah / Hadits yang tidak ada dalam al-Qur’an seperti kebolehan memakan bangkai ikan dan belalang, sedangkan dalam al-Qur’an menyatakan bahwa bangkai itu haram.

HUBUNGAN AS-SUNNAH DENGAN AL-QUR’AN
1. Sebagai Bayan ( menerangkan ayat-ayat yang sangat umum).
2. Sebagai Taqrir ( memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur’an ).
3. Sebagai Bayan Tawdih ( menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ).
PERBEDAAN AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH / HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM
Sekalipun al-Qur’an dan as-Sunnah sama-sama sebagai sumber hukum Islam, namun diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil, antara lain sebagai berikut :
1. – Al-Qur’an bersifat Qath’i ( mutlak ) kebenarannya.
- As-Sunnah bersifat Dzhanni ( relatif ), kecuali Hadits Mutawatir.
2. – Seluruh ayat al-Qur’an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup.
- Tidak seluruh Hadits dapat dijadikan pedoman hidup karena disamping ada Hadits Shahih, ada pula Hadits yang Dhaif .
3. – Al-Qur’an sudah pasti autentik lafadz dan maknanya.
- As-Sunnah belum tentu autentik lafadz dan maknanya.
4. – Apabila al-Qur’an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib, maka setiap muslim wajib mengimaninya.
- Apabila as-Sunnah berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib, maka setiap muslim tidak diharuskan mengimaninya seperti halnya mengimani al-Qur’an.
5. Berdasarkan perbedaan tersebut, maka :
- Penerimaan seorang muslim terhadap al-Qur’an hendaknya didasarkan pada keyakinan yang kuat, sedangkan;
- Penerimaan seorang muslim terhadap as-Sunnah harus didasarkan atas keragu-raguan ( dugaan-dugaan ) yang kuat. Hal ini bukan berarti ragu kepada Nabi, tetapi ragu apakah Hadits itu benar-benar berasal dari Nabi atau tidak karena adanya proses sejarah kodifikasi hadits yang tidak cukup memberikan jaminan keyakinan sebagaimana jaminan keyakinan terhadap al-Qur’an.
Setiap hadits mengandung tiga Unsur, yaitu:
  • matan (teks atau perkataan yang disampaikan);
  • rawi (disebut juga perawi) adalah orang yang menyampaikan atau yang meriwayatkan hadits yang pernah diterimanya dari seseorang ke dalam suatu kitab;
  • sanad, adalah orang-orang yang menjadi sandaran dalam meriwayatkan hadits. Dengan kala lain, sanad adalah orang-orang yang menjadi perantara dari Nabi Muhammad Rosulullah saw. kepada perawi.
Ditinjau dari segi rawi (perawi atau orang yang meriwayatkan),,
 Hadits  dibagi dalam dua bentuk besar. Bentuk pertama terbagi atas hadits mutawatir dan hadits ahad. Bentuk kedua terbagi atas mutawatir, ahad, dan masyhur. Konon bentuk pertama yang lebih praktis. Mengapa? Karena hadits masyhur itu sudah tercakup dalam hadits ahad yang terbagi atas masyhur, ’aziz, dan ghorib.
Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang dalam setiap sanadnya dan mustahil para perawinya itu sepakat berdusta. Sebab hadits itu diriwayatkan oleh banyak orang dan disampaikan kepada banyak orang. Oleh karena itu diyakini kebenarannya.
Dalam hal keotentikannya, hadits mutawatir sama dengan al-Qur’an, karena keduanya merupakan sesuatu yang pasti adanya (qoth’i al-wurud). Itulah sebabnya para ’ulama sepakat bahwa hadits mutawatir wajib diamalkan. Berikut salah satu contoh hadits mutawatir itu: Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempat (kembali)nya dalam neraka." (HR. Bukhori, Muslim, Darimi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, Thobroni, dan Hakim)
Hadits mutawatir terbagi dua:
  • mutawatir lafzi, yakni perkataan Nabi Muhammad saw., dan
  • mutawatir ’’amali, yakni perbuatan nabi Muhammad saw.
 
Hadits Ahad, yaitu hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir. Mengenai hadits ahad ini, para imarn mazhab berbeda pendapat. Menurut Imam Hanafi (Abu Hanifah), jika rawinya orang-orang yang adil maka hanya dapat dijadikan hujjah pada bidang amaliyah. Bukan pada bidang aqidah dan ilmiah. Imam Malik berpendapat hadits ini dapat dipakai menetapkan hukum- hukum yang tidak dijumpai dalam al-Qur’an dan harus didahulukan dari qiyas zhonni (tidak pasti)
Imam Syafi’i menegaskan, hadits ini dapat dijadikan hujjah jika rawinya memenuhi empat syarat, yaitu:
  1. berakal;
  2. dhobit (yakni memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna c-s serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendaki); dan
  3. mendengar langsung dari Nabi Muhammad saw. dan tidak menyalahi pendapat ’ulama hadits.
Hadits Masyhur yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga rawi atau lebih dengan sanad yang berbeda. Contohnya, Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Orang Islam adalah orang yang tidak mengganggu orang Islam lainnya baik dengan lidah maupun dengan tangannya." (HR. Bukhori, Muslim, Tirmidzi)
Sanad Bukhori, yaitu Bukhori (menerima) dari Adam, dari Syu’bah, dari Abdullah bin Abu Safar, dari Asy-Sya’bi, dari Abdullah bin Amir, dari Nabi Muhammad saw.
Sanad Muslim, yaitu Muslim (mendengar) dari Sa’id, dari Yahya, dari Abu Burdah, dari Abu Musa, dari Nabi Muhammad saw.
Sanad Tirmidzi, yaitu Tirmidzi (mendengar) dari Qutaidah, dari al-Lais, dari al-Qo’qo, dari Abu Salih, dari Abu Huroiroh, dari Nabi Muhammad saw.
Hadits Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi, walaupun setelah itu diriwayatkan oleh sejumlah rawi.
Hadits Ghorib adalah hadits yang dalam sanadnya hanya ada satu orang rawi, dimanapun sanad itu terjadi.
Hadits Qudsi Dan Hadits Nabawi

Ditinjau dari segi sumbernya, hadits dibagi menjadi dua macam, yaitu hadits qudsi (disebut juga hadits Robbani) dan hadits Nabawi (hadits nabi). Perbedaan kedua macam hadits tersebut yaitu:

Hadits Qudsi adalah firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Rosulullah saw. kemudian beliau menyampaikannya dengan redaksi (susunan kata/kalimat)nya sendiri. Dengan demikian makna hadits qudsi tersebut berasal dari Allah SWT, sedangkan lafal/redaksinya dari Nabi saw.

Hadits Nabawi adalah hadits yang makna maupun lafalnya berasal dari Nabi Muhammad Rosulullah saw. sendiri. Jika demikian, apa perbedaan antara hadits qudsi dengan Al- Qur’an? Ada beberapa perbedaan yang tegas, yakni:
  1. lafal dan makna Al-Qur’an berasal dari Allah SWT, sebaliknya hadits qudsi hanya maknanya saja yang berasal dari Allah SWT, sedangkan redaksinya (susunan kalimatnya) dari Nabi Muhammad Rosulullah saw.;
  2. periwayatan Al-Qur’an tidak boleh dengan maknanya saja, sebaliknya hadits qudsi boleh diriwayatkan hanya dengan maknanya;
  3. Al-Qur’an, terutama surat Al-Fatiha harus dibaca dalam sholat, sebaliknya hadits qudsi tidak boleh dibaca sewaktu sholat;
  4. membaca Al-Qur’an terhitung ibadah, sebaliknya membaca hadits qudsi tidak terhitung ibadah.

Ditinjau dari segi nilai sanad, hadits dikelompokkan dalam tiga macam, shohih, hasan, dan dhoif.
 
1.        Hadits Shohih, yaitu hadits yang cukup sanadnya dari awal  sampai akhir dan oleh orang-orang yang sempurna hafalannya. Syarat hadits shohih adalah:
a.       Sanadnya bersambung;
b.      Perawinya adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga  
      kehormatan dirinya (muruah);
c.       Dhobit, yakni memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendaki; dan
d.      Hadits yang diriwayatkannya tidak bertentangan dengan hadits mutawatir atau dengan ayat al-Qur`an.
Hadits shohih dibagi dua:
a.       Shohih Lizatihi, yakni hadits yang shohih dengan sendirinya tanpa diperkuat dengan keterangan lainnya. Contohnya adalah sabda Nabi Muhammad saw., ``Tangan di atas (yang memberi) lebih baik dari tangan di baivah (yang menerima). `` (HR. Bukhori dan Muslim)
b.      Shohih Lighoirihi, yakni hadits yang keshohihannya diperkuat dengan keterangan lainnya. Contohnya sabda Nabi Muhammad saw., ``Kalau sekiranya tidak terlalu menyusahkan umatku untuk mengerjakannya, maka aku perintahkan bersiwak (gosok gigi) setiap akan sholat.`` (HR. Hasan)
Dilihat dari sanadnya, semata-mata hadits Hasan Lizatihi, namun karena dikuatkan dengan riwayat Bukhori, maka jadilah ia shohih lighoirihi.
 
2.        Hadits Hasan, adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil, namun tidak sempurna hafalannya. Hadits hasan dibagi dua:
a.        Hasan Lizatihi, yakni hadits yang dengan sendirinya dikatakan hasan. Hadits ini ada yang sampai ke tingkat lighoirihi; 
dan
b.       Hasan Lighoirihi, yakni hadits yang derajat hasannya dibantu dengan keterangan lainnya. Contohnya sabda Nabi 
Muhammad saw., ``Sembelihan bagi bayi hezvan yang berada dalam perut ibunya, cukuplah dengan sembelihan ibunya saja.`` (HR. Tirmidzi, Hakim, dan Darimi)
 
Hadits di atas jika kita ambil sanad dari Imam Darimi, adalah Darimi menerima dari 1) Ishak bin Ibrohim, dari 2) Itab bin Bashir, dari 3) Ubaidillah bin Abu Ziyad, dari 4) Abu Zubair, dari 5) Jabir, dari Nabi Muhammad saw. Nama yang tercela dalam sanad di atas adalah nomor 3 (Ubaidillah bin Abu Ziyad). Sebab menurut Abu Yatim ia bukanlah seorang yang kuat hafalannya dan tidak teguh pendiriannya.: 
3. Hadits Dhoif (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih dan hasan. Contohnya, ``Barangsiapa berkata kepada orang miskin: `bergembiralah`, maka luajib baginya surga``. (HR. Ibnu A`di) Di antara perawi hadits tersebut ialah Abdul Mali bin Harun. Menurut Imam Yahya, ia seorang pendusta. Sedangkan Ibnu Hiban memvonisnya sebagai pemalsu hadits.
 Dari segi keterputusan sanad, hadits dhoif terbagi menjadi lima macam:
a.    hadits mursal, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tabi`in dengan menyebutkan ia menerimanya langsung dari Nabi Muhammad saw., padahal tabi`in (generasi setelah sahabat) tidaklah mungkin bertemu dengan nabi.
b.    Hadits munqothi` yaitu hadits yang salah seorang rawinya gugur (tidak disebutkan namanya) tidak saja pada sahabat, namun bisa terjadi pada rawi yang di tengah atau di akhir;
c.  Hadits al-mu`adhdhol, yaitu hadits yang dua orang atau lebih dari perawinya setelah sahabat secara berurutan tidak disebutkan dalam rangkaian sanad;
d.  Hadits mudallas, yaitu hadits yang rawinya meriwayatkan hadits tersebut dari orang yang sezaman dengannya, tetapi tidak menerimanya secara langsung dari yang bersangkutan;
e.    Hadits mu`allal, yaitu hadits yang kelihatannya selamat, tetapi sesungguhnya memiliki cacat yang tersembunyi, baik pada sanad maupun pada matannya.

 Ditinjau dari segi lain-lainnya, hadits dhoif terbagi dalam enam macam:
1.        hadits mudhthorib, yaitu hadits yang kemampuan ingatan dan pemahaman periwayatnya kurang;
2.        hadits maqluub, yaitu hadits yang terjadi pembalikan di dalamnya, baik pada sanad, nama periwayat, maupun matannya;
3.        hadits mudho`af, yaitu hadits yang lemah matan dan sanadnya sehingga diperselisihkan oleh para `ulama. Contohnya, ``asal segala penyakit adalah dingin.`` (HR. Anas dengan sanad yang lemah)
4.        hadits syaaz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang shiqoh,namun menyalahi riwayat orang banyak yang 
shiqoh juga;
5.        hadits mungkar, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang lemah dan riwayatnya berbeda dengan riwayat yang
shiqoh;
5.      hadits matruuk, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang dituduh suka  berdusta, nyata kefasikannya, ragu dalam periwayatan, atau pelupa.

bukti bahwa hadits menguraikan segala sesuatu yang disampaikan oleh Al-Qur`an secara global, samar, dan singkat.

1. Tentang sholat

Allah SWT berfirman, "Sungguh, sholat itu adalah kewajiban

yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman". (QS. 4/An-Nisa`: 103) "Bacalah Kitab (Al-Quran) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar." (QS. 29/Al-Ankabut: 45)

Dalam ayat tersebut Allah SWT sama sekali tidak memberikan petunjuk tentang jumlah bilangan rokaat sholat dan tata cara melaksanakannya. Untuk itu Nabi saw. menerangkannya dengan perbuatan (praktek) maupun perkataan. Muhammad Rosulullah saw. bersabda, " Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat. " (HR. Bukhori)

2. Perihal zakat

Allah SWT berfirman, "Laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang yang rukuk (maksudnya sholat berjamaah).`` (QS. 2/Al-Baqoroh: 43) "Laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rosul (Muhammad), supaya kamu diberi rahmat." (QS. 24/An-Nur: 56)

Kedua ayat di atas jelas tidak menerangkan barang apa saja yang harus dikeluarkan zakatnya. Juga tidak menegaskan berapa jumlah batas minimal barang yang dikenakan zakat, persentase zakatnya, dan kapan waktu pembayarannya. Untuk itu Nabi Muhammad Rosulullah saw. bersabda, antara lain: "Apabila engkau mempunyai perak 200 dirham dan telah cukup satu tahun, maka zakatnya lima dirham. Jika engkau mempunyai emas 20 dinar dan telah engkau miliki selama satu tahun, maka wajib zakatnya 0,5 dinar." (HR. Abu Dawud). Muhammad Rosulullah saw. juga menegaskan, "Tidaklah wajib zakat pada harta seseorang yang belum genap satu tahun dimilikinya." (HR. Daruquthni)

3. Mengenai haji

Allah SWT berfirman, "Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah, adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam." (QS. 3/Ali Imron: 97) Pengertian mampu dalam ayat ini adalah sehat, mempunyai perbekalan yang cukup untuk pergi dan untuk keluarga yang ditinggalkan serta tersedia transportasi dan perjalannya juga aman.

Allah SWT juga berfirman, "Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yangjauh." (QS. 22/Al-Hajj: 27) Kalimat "unta yang kurus" dalam ayat ini menggambarkan jauh dan beratnva perjalanan yang ditempuh oleh jama`ah haji.

Kedua ayat di atas’itu pun tidak memerinci bagaimana cara melaksanakan ibadah haji dan kapan waktu pelaksanaannya. Karena itu Nabi Muhammad Rosulullah saw. memberikan contoh, dan bersabda, "Ambillah dariku tentang cara mengerjakan haji. Mungkin aku tidak akan bertemu kamu setelah tahunku mi. "(HR. Muslim)

4. Soal hukum potong tangan dalam mencuri

Allah SWT berfirman, "Adapun orang pria maupun vanita yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atus perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Mahabijaksana," (QS. 5/Al-Maidah: 38) Ayat ini tidak menerangkan pengertian mencuri. Juga tidak menjelaskan berapa batas minimal barang yang dicuri sehingga harus dihukum potong tangan, dan tangan sebelah mana yang harus dipotong. Oleh karena itu Muhammad Rosulullah saw. menjelaskan, "Janganlah engkau memotong tangan pencuri, kecuali (karena mencuri barang) seharga seperempat dinar ke atas". (HR. Muslim, Nasa`i, dan Ibnu Majah)

Mengingat hadits adalah sumber ajaran Islam kedua, maka hukum mempelajari hadits adalah wajib. Berikut ini penulis paparkan pendapat beberapa ulama tentang kewajiban mempelajari hadits dan mengamalkannya.
  1. Al-Hakim menegaskan, "Seandainya tidak banyak c rang yang menghafal sanad hadits, niscaya menara Islam rcboh. Juga niscaya para ahli bid`ah berupaya membuat hadits maudhu dan memutar-balikkan sanad."
  2. Imam Sufyan Sauri menyatakan, "Saya tidak mengenal ilmu yang utama bagi orang yang berhasrat menundukkan wajahnya di hadapan Allah, selain ilmu hadits. Orang-orang sangat memerlukan ilmu ini sampai pada masalah-masalah kecil tentang tata cara makan dan minum. Mempelajari hadits lebih utama dibandingkan dengan sholat (sunnah) dan puasa (sunnah), karena mempelajari ilmu ini adalah fardhu kifayah.
  3. Imam Syafi`i menuturkan, "Ilmu hadits ini termasuk tiang agama yang paling kokoh dan keyakinan yang paling teguh. Tidak gemar menyiarkannya, kecuali orang-orang yang jujur dan takwa. Dan tidak dibenci memberitakannya selain oleh orang-orang munafik lagi celaka.